Makam (KOOBOORAN) PLATAHARAN Troloyo di abad ke 19
0 view

Makam (KOOBOORAN) PLATAHARAN Troloyo di abad ke 19
Foto: istimewa

Semua orang Mojokerto pasti kenal nama Troloyo di Trowulan. Meski tidak semua pernah ziarah ke komplek pemakaman tersebut, setidaknya kita tahu di sanalah makam Syech Jumadil Kubro berada. Sejak kapan Troloyo didatangi para penziarah ?

Tersebutlah nama William Barrington d'Almeida yang menulis buku Life In Java. Buku terbitan Hurst and Blackett London tahun 1864 itu dibukukan dalam dua Volume. Kunjungannya sehari di Mojokerto dimuat pada volume 1. Nah pada buku itulah d'Almeida mendiskripsikan apa yang dia lihat tentang reruntuhan Majapahit. Pria yang lahir tahun 1841 itu merekam apa yang disaksikannya di dalam komplek pemakaman terbesar di Jawa itu.

Perjalanan ke tanah Jawa dilakukan pada tahun 1864. Saat tiba di Troloyo yang dia sebut sebagai Koobooran Plataharan dia memperkirakan luasnya 3,5 akre. Komplek makam tersebut memiliki 4 plataharan atau komplek makam yang cukup luas dan 2 lainnya yang lebih kecil. Masing-masing komplek pemakaman dikelilingi dengan tembok berbahan batu bata. Tembok khas Majapahit tersebut terlihat kokoh dengan tinggi sekitar 5 kaki 9 inci. Pada setiap plataharan ada pintu masukknya. Antar komplek makam dihubungkan dengan jalan setapak.

Masing-masing komplek makam miliki banyak nisan. Keberadaan nisan itu menunjukkan bila disana tempat pemakaman orang Islam yang meninggal dunia. Namun tidak semua orang bisa dimakamkan di komplek tersebut jika tidak memiliki hubungan trah dengan Majapahit. Salah seorang yang dimakamkan terakhir disana adalah Pangeran Mojoagung yang dikebumikan sekitar 40 tahun sebelum kedatangan d'Almeida atau sekitar tahun 1820-an.

d'Almaida menyebut dari kompleks-kompleks itu ada satu plataharan yang paling luas, kira-kira 35 kaki persegi. Komplek makam itu memiliki bangunan beratap yang kita kenal sebagai cungkup. Lantai makam terbuat dari susunan batu bata. Komplek makam bercunhkup itu yang paling ramai dikunjungi orang saat itu. Bisa jadi yang dilihat d'Almeida adalah makam Syech Jumadil Kubro. Para penziarah itu datang dari berbagai tempat dengan beragam tujuan.

Beberapa penziarah sempat ditanya d'Almeida apa tujuannya. Seorang pria tua setengah buta menyatakan dia datang ke sana untuk minta kesembuhan dan panjang umur. Pria itu datang dari tempat yang sangat jauh dari Troloyo. Sementara seorang perempuan muda yang menjawab dengan malu-malu bila dirinya ingin mendapatkan suami baru. Perempuan itu juga berdoa agar suaminya yang sekarang pergi jauh dari kehidupannya.

Tujuan berbeda dilakukan oleh seorang pemuda yang tampak terpelajar. Pemuda itu datang dari Gresik yang jauhnya 50 mil dari makam yang dia ziarahi. Maksudnya ingin berdoa mohon keselamatan karena akan bekerja di sebuah kapal yang akan berlayar ke pulau Sumatra.

Dalam pengamatan d'Almeida, banyak diantara penzairah yang menginap di dalam komplek makam tersebut. Diantara mereka ada yang sedang tidur. Ada pula yang duduk berkemul sarung dengan dua tangan memegang betis dan lututnya ditekuk. Lutut itu digunakan untuk menyangga dagunya sementara tatapan matanya kosong. Kebanyakan penziarah itu memiliki problem kehidupan.

Komplek makam Troloyo dijaga seorang juru kunci yang usianya sudah cukup tua. Awalnya juru kunci itu melarang orang barat seperti d'Almeida masuk ke dalam komplek. Larangan juga berlaku bagi orang pribumi sebelum melakukan ritual dan doa membersihkan diri. Mungkin ritual itu semacam wudlu untuk mensucikan dari hadats kecil. Namun lambat laun larangan bagi orang barat itu dihapus setelah banyak peneliti Eropa datang melihat makam dan nisan di sana. Saat d'Almaida datang larangan sudah tidak ada dan bahkan juru kunci dengan senang hati mengantarkannya melihat dalam komplek makam Troloyo.

Dari Plataharan utama kemudian masuk ke komplek dengan bangsal atau tempat beristirahat. Bangsal itu sepertinya diperuntukkan bagi para bangsawan yang datang. Setelah dari peristirahatan itu biasanya bangsawan bisa masuk ke makam yang diinginkan guna berdoa.

Salah satu makam yang letaknya cukup tinggi adalah makam yang disebut makam Sultan/Ratu Darawati. Juru kunci menyebut Darawati adalah perempuan bijaksana yang sangat dihormati. Sayangnya dia tidak bisa menceritakan kisah hidup Darawati dengan baik. Komplek makam Darawati yang tidak seberapa luas diisi dengan beberapa makam yang salah satunya disebut makam pembantu kesayangan Ratu Darawati.

Pada komplek makam terdapat banyak tumbuh pohon Suma atau juga biasa dinamakan pohon Sumaja, bisa jadi pohon Sumaja yang dilihat d'Almeida adalah pohon Maja. Selain itu ada banyak ditemui pohon Nogosari. Salah satunya pohon Nogosari berukuran besar dengan pucuk berwarna kuning. Jajaran pohon kapuk atau randu juga ada disana. Kapuk randu memiliki buah yang bisa dipakai membuat kain dengan kualitas rendah.

Dari diskripsi d'Almeida itu bisa diketahui bila makam Troloyo sudah banyak dijadikan tujuan ziarah sejak dari awalnya. Beberapa makam baru juga dibauat untuk keluarga bangsawan yang memiliki hubungan darah dengan Raja Brawijaya. Dimakamkan di koobooran Plataharan Troloyo tentu memiliki kebanggan tersendiri bagi anak cucunya.

*Photo : makam di Troloyo koleksi Tropenmuseum Nederland
Postingan Lebih Baru Postingan Lebih Baru Postingan Lama Postingan Lama

Posting Terkait

Komentar

Posting Komentar
Tunggu dulu...